Disusun oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ ﴾
- Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang telah menciptakan,
- Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
- Bacalah, dan Rabbmulah yang Maha Pemurah
- Yang mengajar dengan perantaraan pena,
- Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Qs. Al-‘alaq/1-5)
PENGANTAR
Zaman jahiliyah adalah zaman kegelapan. Kebodohan dan kezhaliman merajalela. Kemudian Allâh سبحانه وتعالى menganugerahkan rahmat-Nya kepada manusia secara umum, dan bangsa Arab secara khusus, dengan mengutus Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ , dan menurunkan Kitab Suci-Nya. Ayat-ayat al-Qur’ân yang turun pertama kali kepada Nabi ﷺ adalah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq.
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Ayat al-Qur’ân yang turun pertama kali adalah ayat-ayat yang mulia ini. Ayat-ayat ini adalah pertama kali rahmat dan nikmat yang Allâh سبحانه وتعالى berikan kepada manusia. Di dalamnya terdapat peringatan tentang penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan di antara kemurahan Allâh عزوجل adalah Dia عزوجل mengajarkan kepada manusia perkara yang belum ia ketahui. Sehingga Allâh سبحانه وتعالى memuliakan manusia dengan ilmu. Dengan ilmu inilah bapak manusia, yaitu Nabi Adam عليه السلام mengungguli para malaikat. Ilmu itu terkadang berada dalam fikiran (dzihni), terkadang berada di lisan/lidah (lafzhi), dan terkadang beradadalam penulisan dengan tangan (rasmi).”1
Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata, “Surat ini adalah awal dari surat-surat al[1]Qur’ân yang turun kepada Rasûlullâh ﷺ . Surat ini turun kepada beliau ﷺ pada awal-awal kenabian, karena pada waktu itu, beliau tidak mengetahui apa yang dimaksud kitab suci itu, dan apa yang dimaksud dengan iman ? Kemudian Jibril عليه السلام datang kepada beliau membawa risalah, dan memerintahkan beliau ﷺ agar membaca, tetapi beliau ﷺ menolak; beliau berkata, ‘Aku tidak bisa membaca,’ namun Jibril عليه السلام terus mendesaknya sehingga beliau ﷺ membaca.”2
SEBAB TURUNNYA AYAT
Tentang permulaan wahyu ini, Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari Aisyah x Ummul Mukminin, ia berkata, “Wahyu pertama yang diterima oleh Rasûlullâh ﷺ dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Tidaklah beliau ﷺ bermimpi kecuali mimpiitu menjadi nyata seperti fajar Shubuh. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allâh) untuk melakukan khalwah (‘uzlah). Beliau melakukan khalwah di Gua Hira`. Beliau melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah x ) untuk mengambil bekal. (Setelah beberapa malam) beliau kembali kepada Khadijah x lalu mengambil bekal untuk beberapa hari. Sampai kebenaran mendatanginya ketika beliau ﷺ berada dalam Gua Hira`.
Malaikat (Jibril) datang kepada beliau ﷺ lalu berkata, “Bacalah !”
Beliau menjawab,“Aku tidak dapat membaca,” beliau berkata,“Malaikat itu memegangiku lalu memelukku sehingga menyusahkanku. Kemudian malaikat itu melepaskanku, lalu dia berkata lagi, “Bacalah !”
Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca,” Lalu malaikat itu memegangiku lalu memelukku yang kedua kalinya sehingga menyusahkanku. Kemudian malaikat itu melepaskanku, lalu dia berkata lagi, “Bacalah !”
Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca,” lalu Malaikat itu memegangiku, memelukku yang ketiga kalinya sehingga menyusahkanku. Kemudian malaikat itu melepaskanku, lalu dia membaca:
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ ﴾
(Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya).
Rasûlullâh ﷺ pulang dalam keadaan gemetar hatinya. Beliau menemui Khadijah binti Khuwailid x lalu berkata,“Selimutilah aku, selimutilah aku,” kemudian mereka menyelimuti beliau sehingga hilang rasa takutnya.
Beliau ﷺ menceritakan kejadian itu kepada Khadijah x dan bersabda kepadanya, “Aku khawatir terhadap diriku”.
Khadijah x menjawab, ”Tidak ! Demi Allâh, sesungguhnya Allâh عزوجل tidak akan menyian-nyiakan Anda selamanya. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, memberi orang yang tidak punya, memberi hidangan tamu, dan membantu perkara-perkara penting di atas kebenaran”.
Kemudian Khadijah x mengajak Rasûlullâh ﷺ pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil- ‘Uzza, anak paman (sepupu) Khadijah. Pada masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Dia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Dia seorang yang sudah lanjut usia dan telah buta.
Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (yakni Muhammad ﷺ ).”
Waraqah bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ , “Hai anak saudaraku, apa yang telah engkau lihat?“ maka Rasûlullâh ﷺ menceritakan kepadanya apa yang telah dilihatnya.
Waraqah berkata, “Itu adalah malaikat yang pernah diutus Allâh kepada Musa عليه السلام . Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa !
Alangkah besar harapanku seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”
Maka Rasûlullâh ﷺ bertanya,“Apakah mereka akan mengusir aku?”
Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada seorang laki-laki yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup pada harimu itu ( yakni ketika beliau ﷺ dimusuhi dan diusir, Pen.) aku pasti akan membantumu dengan sekuat-kuatnya.”
Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan untuk beberapa waktu lamanya Rasûlullâh ﷺ tidak menerima wahyu. (HR Bukhâri dan Muslim).
TAFSIR AYAT
Firman Allâh عزوجل :
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ ﴾
(Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang telah menciptakan).
Syaikh Musa’id ath-Thayyâr –hafi zhahullâh[1]berkata, “Allâh عزوجل memerintahkan Nabi-Nya yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) ﷺ agar membaca apa yang Allâh سبحانه وتعالى turunkan kepadanya, yaitu ayat-ayat ini. Allâh berfirman kepadanya ‘Bacalah dengan memohon pertolongan dan dengan memulai menyebut nama Rabbmu yang telah menciptakan segala sesuatu’. 3
Perintah Allâh عزوجل kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk membaca bukan berarti beliau ﷺ tidak buta huruf, karena membaca bisa dengan hafalan, bukan membaca tulisan. Syaikh Ibnu ‘Asyûr at-Tunisi رحمه الله berkata, “Firman Allâh عزوجل ‘bacalah’ adalah perintah membaca. Membaca adalah mengucapkan perkataan tertentu yang tertulis atau yang dihafal di luar kepala.”4
Firman Allâh عزوجل :
﴿ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ ﴾
(Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
“Kemudian Allâh عزوجل menjelaskan asal penciptaan manusia, Allâh سبحانه وتعالى berfi rman, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah yang melekat di rahim”.5
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata, “ Allâh سبحانه وتعالى yang telah menciptakan manusia dan memperhatikan urusannya, pasti Dia سبحانه وتعالى juga mengatur manusia dengan perintah dan larangan, yaitu dengan mengutus Rasul kepada mereka dan menurunkan kitab kepada mereka; oleh karena itu Allâh عزوجل menyebutkan penciptaan-Nya terhadap manusia setelah perintah membaca.”6
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata, “Di dalam ayat pertama adalah penetapan keberadaan al-Khaliq (Sang Pencipta), demikian juga ayat kedua.
Dalam ayat pertama dan kedua juga terdapat dalil kemungkinan kenabian dan dalil kenabian Muhammad ﷺ .
Di dalam ayat pertama Allâh berfi rman, yang artinya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmuyang telah menciptakan,”, dan dalam ayat kedua Allâh عزوجل berfi rman, “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.
Allâh سبحانه وتعالى menyebutkan penciptaan secara mutlak (umum), kemudian Allâh عزوجل menyebutkan penciptaan manusia secara khusus, bahwa Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Ini adalah perkara yang diketahui oleh seluruh manusia, semua orang mengetahui bahwa manusia terjadi di dalam perut ibunya, dan bahwa manusia itu terjadi dari segumpal darah.
Manusia di sini (yang dimaksudkan) adalah keturunan Nabi Adam عليه السلام . Kata “insan” adalah nama jenis yang mencakup seluruh manusia, tetapi Nabi Adam عليه السلام tidak termasuk di dalamnya, karena beliau telah diciptakan dari tanah. Sesungguhnya maksud ayat ini adalah penjelasan bukti adanya al-Khâliq عزوجل , sedangkan penunjukkan bukti hanyalah dengan pernyataan-pernyataan awal yang diketahui oleh orang yang bukti itu ditunjukkan kepadanya.
Maksud ayat ini adalah penjelasan bukti kepada manusia dan petunjuk bagi mereka, sedangkan mereka semua mengetahui bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Adapun penciptaan Nabi Adam عليه السلام dari tanah, maka ini hanya diketahui dengan berita nabi-nabi atau dengan dalil-dalil lain. Oleh karena ini, maka hal itu diingkari oleh sekelompok dari orang-orang kafi r Dahriyah (ateis) dan selain mereka yang tidak mengakui adanya kenabian. Ini berbeda dengan penyebutan penciptaan manusia di selain surat ini (yaitu bahwa Allâh سبحانه وتعالى telah menciptakan manusia dari tanah, Pen.). Karena sesungguhnya hal ini Allâh sebutkan untuk menetapkan kenabian. Surat ini adalah yang pertama kali turun. Dengan surat ini kenabian ditetapkan, sehingga Allâh سبحانه وتعالى tidak menyebutkan di dalam surat ini sesuatu yang hanya diketahui dengan berita (wahyu). Bahkan Allâh عزوجل menyebutkan di dalam surat ini dalil yang diketahui dengan akal dan persaksian, serta berita-berita mutawâtir bagi orang yang tidak melihat ‘alaq (segumpal darah).
Allâh سبحانه وتعالى menyebutkan penciptaan manusia dari ‘alaq, bentuk jama’ dari ‘alaqah, yaitu segumpal kecil dari darah, karena sebelum itu adalah nuthfah (setetesair mani), sedangkan nutfah terkadang jatuh bukan di rahim, seperti seseorang yang sedang ihtilam (mimpi basah), dan terkadang jatuh di dalam rahim, tetapi kemudian rahim menggugurkannya sebelum menjadi segumpal darah. Dan nuthfah terkadang menjadi awal penciptaan manusia, dan telah diketahui bahwa nutfah akan menjadi segumpal darah yang akhirnya manusia diciptakan darinya.7
Firman Allâh عزوجل :
﴿ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ ﴾
(Bacalah, dan Rabbmulah yang Maha Pemurah).
Allâh عزوجل mengulangi perintah membaca karena perhatian terhadap perbuatan membaca. Allâh berfi rman, “Bacalah, dan Rabbmulah yang memiliki sifat pemurah yang sempurna.”8 Di antara sifat pemurah-Nya, Allâh سبحانه وتعالى bersabar terhadap kebodohan manusia. Dia سبحانه وتعالى tidak menyegerakan siksaan terhadap mereka.9
Firman Allâh عزوجل :
﴿ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ ﴾
(Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena).
Di antara sifat pemurah-Nya adalah Allâh عزوجل mengajarkan kepada manusia menulis dengan pena (alat tulis), sehingga ilmu-ilmu terjaga dengannya.10
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:
“Kemudian Allâh عزوجل menyebutkan bahwa Dia yang mengajar, karena sesungguhnya petunjuk dan pengajaran merupakan kesempurnaan bagi makhluk. Ilmu itu memiliki tiga tingkatan: ilmu dengan hati, ungkapan dengan lidah, dan tulisan dengan tangan. Oleh karena inilah dikatakan, sesungguhnya segala sesuatu memiliki empat wujud: wujud di dalam dzat, wujud di dalam ilmu, wujud di dalam lafazh, dan wujud di dalam tulisan. Yaitu wujud di dalam dzat, wujud di dalam pikiran, lidah, dan tangan. Wujud di dalam dzat adalah wujud segala yang ada pada dirinya, dan Allâh-lah yang menciptakan segala sesuatu. Adapun wujud di dalam fikiran dan hati adalah ilmu tentangnya yang ada di dalam hati, dan ungkapan ilmu yang ada di dalam pikiran adalah wujud yang ada di lidah, dan penulisan ilmu yang ada di dalam fi kiran adalah wujud di dalam tulisan yang dilakukan oleh tangan. Pengajaran tulisan (dengan perantaraan pena) mencakup pengajaran ungkapan (dengan lidah) dan lafazh, dan itu mencakup pengajaran ilmu. Maka, Allâh سبحانه وتعالى berfirman :
﴿ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ ﴾
(yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena). karena pengajaran dengan perantaraan pena mencakup tiga tingkatan (ilmu yang sebelumnya, Pen.).11
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله juga berkata, “Allâh سبحانه وتعالى berfi rman, yang artinya, ‘yang mengajar dengan perantaraan pena’, Allâh سبحانه وتعالى sebutkan pengajaran dan orang yang diajari dengan mutlak (umum), Allâh سبحانه وتعالى tidak mengkhususkan satu jenis dari orang-orang yang diajari. Maka itu mencakup pengajaran kepada para malaikat dan lainnya, termasuk manusia dan jin, sebagaimana penciptaan-Nya mencakup mereka semua.”12
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله juga berkata:
Firman Allâh ‘yang mengajar dengan perantaraan pena’, termasuk di dalamnya pengajaran kepada para malaikat yang menulis (amal manusia). Termasuk juga di dalamnya pengajaran-Nya dengan kitab[1]kitab yang diturunkan. Allâh سبحانه وتعالى mengajarkan dengan perantaraan pena untuk menulis perkataan[1]Nya yang telah Dia turunkan, seperti kitab Taurat dan al-Qur’ân. Bahkan Allâh سبحانه وتعالى sendiri yang menulis kitab Taurat untuk Nabi Musa عليه السلام . Keadaan Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) termasuk kesempurnaan yang beliau ﷺ bawa sebagai mukjizat yang luar biasa. Termasuk kesempurnaan penjelasan bahwa pengajaran-Nya kepada beliau merupakan pengajaran paling besar dari semua pengajaran, sebagaimana firman Allâh عزوجل :
وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al- Qur’ân) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS al-‘Ankabût/29:48)
Manusia selain Nabi ﷺ (yang tidak buta huruf, Pen.) akan mengetahui apa yang ditulis oleh orang lain, yaitu ilmu manusia yang mereka tulis. Tetapi Allâh سبحانه وتعالى mengajari Nabi ﷺ ilmu itu dengan apa yang Dia wahyukan kepadanya. Perkataan ini (yakni ayat-ayat ini) yang telah diturunkan kepada Nabi ﷺ merupakan tanda dan bukti terhadap kenabian beliau ﷺ , karena seluruh manusia dan jin tidak mampu membuatnya. Allâh عزوجل berfirman :
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (QS al[1]Isrâ’/17: 88).
Allâh عزوجل berfirman :
اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allâh, jika kamu orang yang benar”. (QS Yûnus/10:38).
Dalam ayat lain Allâh سبحانه وتعالى berfirman :
اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗقُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهٖ مُفْتَرَيٰتٍ وَّادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ فَاِلَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اُنْزِلَ بِعِلْمِ اللّٰهِ وَاَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۚفَهَلْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’ân itu,” katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allâh, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya al-Qur’ân itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allâh)? (QS Hûd/11:13-14).13
Firman Allâh عزوجل :
﴿ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ ﴾
(Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya).
Di antara sifat pemurahNya, Allâh mengajarkan kepada manusia ilmu-ilmu yang dia belum mengetahuinya.14
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata: Sesungguhnya Allâh سبحانه وتعالى telah mengeluarkan manusia dari perut ibunya dengan tidak mengetahui apa-apa, dan Allâh سبحانه وتعالى menciptakan pendengaran, penglihatan, dan pikiran untuk manusia, dan Allah سبحانه وتعالى telah memudahkan baginya sebab[1]sebab (sarana-sarana) ilmu. Allâh mengajarkan al-Qur’ân dan al-Hikmah kepada manusia. Allâh juga mengajarkan kepadanya (menulis) dengan pena; dengan itu ilmu-ilmu terpelihara, hak-hak terjaga, dan tulisan bisa menjadi wakil untuk manusia di dalam pembicaraan mereka. Maka segala puji dan karunia hanya milik Allâh سبحانه وتعالى, yang telah memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat ini yang mereka tidak akan mampu membalas dan tidak akan mampu mensyukurinya.15
Syaikhul-Islam رحمه الله berkata:
Setelah menyebutkan penciptaan, Allâh سبحانه وتعالى menyebutkan ta’liim (pengajaran), yaitu pengajaran dengan pena dan pengajaran kepada manusia perkara yang dia tidak mengetahui. Penyebutan khusus ta’lîm ini dijadikan dalil adanya kenabian. Di sini Allâh سبحانه وتعالى tidak berfirman “memberi petunjuk”, yaitu petunjuk umum yang mencakup bagi manusia dan seluruh makhluk hidup, sebagaimana Allâh سبحانه وتعالى berfirman di tempat yang lain :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَىۙ الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوّٰىۖ وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدٰىۖ
Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, Yang Menciptakan lalu menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. (QS al-A’laa/87:1-3).
Dan sebagaimana perkataan Nabi Musa عليه السلام :
قَالَ رَبُّنَا الَّذِيْٓ اَعْطٰى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهٗ ثُمَّ هَدٰى
Rabb Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”) (QS Thaha/20:50) karena pengajaran yang khusus ini mencakup petunjuk yang umum, dan tidak sebaliknya. Dan ini lebih dekat kepada penetapan kenabian, karena kenabian adalah satu jenis dari pengajaran. Dan menjadikan seorang manusia sebagai Nabi, tidak lebih susah daripada penciptaan-Nya terhadap segumpal darah menjadi manusia yang hidup, berilmu, berbicara, mendengar, melihat, dan berbicara, dengan mengetahui berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana mengulangi penciptaan (yakni menghidupkan manusia setelah kematiannya, Pen.) tidak lebih susah daripada penciptaan yang pertama.
Allâh سبحانه وتعالى yang berkuasa memulai (penciptaan), bagaimana tidak berkuasa mengulangi penciptaan (pada hari kiamat)? Allâh سبحانه وتعالى yang berkuasa mengajari (manusiadengan pena perkara yang belum dia ketahui, Pen.) bagaimana tidak berkuasa terhadap pengajaran itu (yakni menjadikan seorang manusia sebagai Nabi), sedangkan Dia Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu, dan tidak ada seorangpun yang bisa meliputi sebagian dari ilmu-Nya kecuali dengan perkara yang Dia kehendaki.16
HIDAYAH AYAT
Ayat-ayat yang mulia ini memiliki banyak petunjuk dan faidah, antara lain adalah:
- Dalil yang nyata keberadaan Allâh عزوجل yang menciptakan seluruh makhluk, termasuk manusia.
- Pentingnya ilmu dan mempelajarinya.
- Nabi ﷺ seorang ummi (buta huruf), bukti nyata kebenaran beliau sebagai utusan Allâh عزوجل .
- Allâh سبحانه وتعالى berkuasa menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada, maka Dia juga berkuasa menghidupkan manusia setelah matinya pada hari Kiamat.
- Penetapan wahyu dari Allâh سبحانه وتعالى dan kenabian Muhammad ﷺ .
- Syariat memulai bacaan dengan menyebut nama Allâh l. Oleh karena itu semua surat di dalam al-Qur’ân, selain surat at-Taubah, dimulai dengan “bismillâhi rahmânir-rahîm”.
- Penjelasan perkembangan nuthfah (air mani) di dalam rahim menjadi segumpal darah, darinya tercipta manusia.
- Mengagungkan kedudukan Allâh عزوجل , dan keagungan kemurahan-Nya, tidak ada siapapun yang menandingi-Nya di dalam sifat pemurah.
- Mengingatkan kedudukan penulisan dengan pena, karena pengetahuan dan ilmu tidak dikumpulkan kecuali dengan penulisan dan pena.
- Penjelasan karunia Allâh سبحانه وتعالى kepada manusia di dalam pengajaran-Nya terhadap perkara yang dia tidak tahu dengan perantara penulisan dan tulisan.17 Wallâhu A’lam.?
Footnote:
1 Tafsîr Ibnu Katsîr, Dar Thayyibah, 8/437.
2 Taisîr Karîmir-Rahman, surat al-‘Alaq.
3 Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr, 1/62.
4 Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, 16/400.
5 Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr, 1/63.
6 aisîr Karîmir-Rahman, surat al-‘Alaq.
7 Majmû’ Fatâwâ, 16/260.
8 Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr, 1/63.
9 Lihat Tafsîr al-Baghawi, 8/479, diambil dari penjelasan al-Kalbi.
10 Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr, 1/63.
11 Majmû’ Fatâwâ, 12/112.
12 Majmû’ Fatâwâ, 16/264.
13 Majmû’ Fatâwâ, 16/266.
14 Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr, 1/63.
15 Taisîr Karîmir-Rahmân, surat al-‘Alaq.
16 Majmû’ Fatâwâ, 16/263.
17 Point 5-10 dinukil dari kitab Aisarut-Tafâsir, surat Al-‘Alaq ayat 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi.
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Thn XVII/Jumadil Akhir 1434H ~ Mei 2013M